Perdebatan pembangunan layanan regasifikasi gas alam cair (LNG) di Blok Masela, Maluku, bukanlah hal baru. Meski, kali ini diramaikan oleh dua orang menteri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli membantu pembangunan layanan pengolahan di darat, sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bersama dengan SKK Migas dambakan pembangunan ditunaikan di terlepas pantai sesuai rancangan pengembangan yang dibikin oleh Inpex Corporation.
Untuk diketahui, keberadaan blok migas tersebut sudah ditemukan sejak th. 2000. Namun, pengembangan ladang gas tersebut terhalang lebih dari satu hal, salah satunya soal pola pengembangan kilang apakah akan di bangun di darat (onshore) atau di laut (offshore).
Perdebatan sengit pun berlangsung di kurang lebih th. 2008-2010.
Mantan Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Aussie Gautama, sementara itu Inpex Corporation selaku operator Blok Masela mengusulkan pengembangan kilang ditunaikan bersama dengan proses LNG terapung/floating/offshore bersama dengan kapasitas 4 miliar ton per tahun.
Sayangnya, pemerintah tak kunjung mengambil alih ketentuan dan kelanjutannya pilih untuk melaksanakan studi bersama dengan melibatkan pihak ketiga, yakni UI, ITB, ITS, gamma dan juga konsultan dari luar.
Rekomendasi dari studi tersebut pun selamanya membangun kilang floating LNG. Akhirnya, pemerintah pun menentukan untuk membangun kilang terapung namun bersama dengan kapasitas hanya 2,5 m ton per annum. Keputusan tersebut diambil kurang lebih th. 2010.
Beberapa th. kemudian, Inpex lagi memberikan hasil observasinya yang mendapatkan akumulasi cadangan gas di ladang gas tersebut jauh lebih besar dari evaluasi yang dilakukannya pada 2009.
Dengan hasil observasi tersebut, keberadaan kilang terapung bersama dengan kapasitas 2,5 miliar ton per annum dinilai tidak optimal didalam rangka pengelolaan blok tersebut ke depannya.
“Mereka usulkan membawa dampak kilang terapung 7,5 miliar ton per annum. Besar dan belum ada di dunia. Kapalnya sudah dibikin yang akan selesai 2018,” ungkap Aussie.
Namun sementara ini usulan Inpex untuk membangun kilang bersama dengan kapasitas sebesar itu mengakibatkan polemik pada pemerintah bersama dengan SKK Migas mengenai pembangunan kilang apakah bersama dengan skema onshore atau offshore.
“Kementerian ESDM kelanjutannya membuat lagi studi bersama dengan pihak ketiga. Hasilnya lagi floating LNG yang dipilih. Jadi memang beberapa kali rancangan pengembangan ini sudah diuji beragam pihak dan selamanya lagi ke floating LNG,” tandas Aussie.
Sebelumnya Rizal Ramli menyebut nilai investasi untuk Floating LNG (FLNG) kurang lebih USD19,3 miliar sementara untuk Land Based LNG hanya menghabiskan investasi USD14,8 miliar. Sementara itu SKK Migas mengatakan pembangunan layanan pengolahan darat justru memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan di laut.
“Ini haru dianalisis bersama dengan baik gara-gara menurut aku FLNG harganya bukan USD14,8 miliar namun dananya mampu lebih besar. Kalau onshore ditaruh pipa 600 kilometer juga dananya bengkak jadi USD21 miliar,” ucapnya.
Pertamina siap terlibat
Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) sudah membuktikan kesiapannya untuk ikut masuk didalam pengelolaan Blok Masela, Maluku bersama dengan Participating Interest maksimal 25 persen Fill Rite Flow Meter.
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto mengatakan pihaknya sudah lebih dari satu kali memberikan keinginan kepada pemerintah supaya ikut mengelola Blok yang tercatat mempunyai kadar gas terbukti capai 10,7 triliun kubik (TCF) itu.
Menurut Dwi, keinginan tersebut juga belum mendapatkan tanggapan dari pengelola Blok Masela yakni Inpex Masela selaku pemilik PI sebesar 65 persen dan Shell Indonesai senilai 35 persen.